Bayi Dijual Online? Indonesia Krisis Perdagangan!

Bangkaterkini.id, Indonesia menghadapi situasi darurat terkait perdagangan bayi. Jaringan kejahatan lintas provinsi bahkan lintas negara ini terungkap di Bandung, Jawa Barat, dengan modus operandi adopsi

Redaksi

Bayi Dijual Online? Indonesia Krisis Perdagangan!

Bangkaterkini.id, Indonesia menghadapi situasi darurat terkait perdagangan bayi. Jaringan kejahatan lintas provinsi bahkan lintas negara ini terungkap di Bandung, Jawa Barat, dengan modus operandi adopsi ilegal dan pemalsuan dokumen. Sindikat ini merekrut bayi sejak dalam kandungan, memalsukan identitas, dan menjualnya ke luar negeri, terutama Singapura.

Kasus ini bermula dari unggahan di Facebook oleh akun Astri Fitrinika, yang menawarkan adopsi bayi tanpa proses rumit di grup "Adopsi Harapan Amanah". Astri mengaku sebagai pasangan suami istri yang mendambakan anak. "AF ini punya akun di media sosial, Facebook, yang menyampaikan bahwa dia mau adopsi tapi no ribet prosesnya," ujar Kabid Humas Polda Jawa Barat, Hendra Rochmawan, seperti dikutip Bangkaterkini.id.

 Bayi Dijual Online? Indonesia Krisis Perdagangan!
Gambar Istimewa : akcdn.detik.net.id

Seorang wanita hamil merespons unggahan Astri, dan keduanya intens berkomunikasi. Astri menjanjikan bantuan Rp10 juta setelah kelahiran. Saat persalinan di Kabupaten Bandung, Astri datang bersama pria yang mengaku suaminya, Djaka Hamdani Hutabarat. Mereka mentransfer Rp600 ribu melalui bidan, namun setelah bayi lahir, mereka kabur tanpa jejak. "Kabur dia. Panik lah si ibu ini, makanya lapor ke polisi," jelas Hendra.

Penyelidikan Polda Jabar mengungkap jaringan sindikat perdagangan bayi terstruktur, mulai dari perekrut, penampung, pengurus dokumen, hingga agen pemasaran ke luar negeri. Bayi dirawat hingga tiga bulan, lalu dibawa ke rumah singgah di Tangerang, diterbangkan ke Pontianak, dan dibuatkan identitas baru dengan orang tua kandung palsu yang diimingi Rp5-6 juta. "Dibikinkan identitas baru di Kalimantan Barat Pontianak itu. Kemudian disitulah udah dalam cengkeraman para sindikat itu, dijual lah mereka, promosikan ke Singapura sana itu," ungkap Hendra.

Polisi telah menangkap 14 pelaku dan memburu dua DPO. Sindikat ini beraksi sejak 2023 dan telah menjual sekitar 25 bayi. Astri mengaku telah beraksi empat kali dengan modal Rp10-16 juta, mendapat bagian sekitar Rp2,5 juta per bayi. Sindikat ini menyasar ibu hamil di luar nikah atau tidak mampu, memanfaatkan media sosial dan grup adopsi. "Dan itu saya yakin banyak grup-grup di media sosial (yang seperti itu)," kata Hendra.

Polisi juga mendalami keterlibatan aparat dalam pemalsuan dokumen. Pelaku utama, Lie Siu Luan alias Lily S alias Popo alias Ai (69), sempat buron ke luar negeri, namun ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta. Data imigrasi menunjukkan 15 bayi berusia 5-14 bulan telah dikirim ke luar negeri, terutama Singapura. Lima bayi siap diberangkatkan, satu diadopsi ilegal di dalam negeri, dan empat masih dalam penyidikan.

Perdagangan bayi menjamur di banyak kota. Sejak 2020, sejumlah kasus terungkap dengan modus beragam, termasuk pemanfaatan media sosial, grup WhatsApp, dan keterlibatan bidan. KPAI Tasikmalaya menggagalkan jual beli bayi pada Agustus 2020. Kasus serupa terjadi di Medan (Januari 2021), Jakarta (September 2024), Tabanan (September 2024), Kulon Progo (November 2024), Yogyakarta (Desember 2024), Pekanbaru (Januari 2025), Batu (Januari 2025), dan Ngawi (Mei 2025).

KemenPPPA menyatakan kasus ini adalah puncak gunung es dari masalah perdagangan orang. Plt. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Pribudiarta Nur Sitepu, menekankan pentingnya kerjasama holistik untuk menangani TPPO. KemenPPPA mencatat peningkatan kasus trafficking dari tahun ke tahun.

Pribudiarta mengakui lemahnya sistem pencegahan dan pengawasan adopsi. Pencegahan selama ini bersifat reaktif dan belum ada sistem nasional untuk melacak risiko TPPO di daerah rawan. Gugus tugas TPPO di daerah lemah implementasinya, dan kapasitas SDM di daerah terbatas. Pemerintah mendorong Desa Ramah Perempuan dan Anak sebagai upaya pencegahan dari akar.

Menurut Pribudiarta, masalah ini adalah gabungan faktor sosial, ekonomi, budaya, dan kelemahan kelembagaan.

Ikuti Kami :

Tags

Related Post

Ads - Before Footer