Bangkaterkini.id, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati menuai sorotan tajam. Draf terbaru RUU ini dinilai menggerus hak-hak terpidana mati, memicu kekhawatiran akan potensi pelanggaran HAM.
Perubahan signifikan terlihat pada penghapusan hak terpidana mati untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Hak mendapatkan informasi yang mudah dimengerti juga dihilangkan, padahal penting bagi WNA atau WNI yang kurang berbahasa Indonesia.

Pendampingan advokat kini menjadi opsi, bukan kewajiban. Bab pengawasan dan pengaduan pun lenyap, menghilangkan mekanisme kontrol atas pemenuhan hak terpidana. Peneliti ICJR, Asry Alkazahfa, khawatir pelanggaran hak bisa berakibat fatal, bahkan setelah eksekusi.
Jeda waktu penundaan eksekusi bagi ibu hamil dan menyusui dipangkas drastis. Pemberitahuan eksekusi kepada keluarga dan terpidana juga diperpendek, membatasi persiapan terakhir.
Uji publik RUU ini terkesan minim partisipasi. ICJR, yang sebelumnya terlibat, tak lagi diundang. Padahal, masukan mereka terkait standar internasional hukuman mati justru diabaikan.
Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Hiariej, mengklaim RUU ini demi kepastian hukum bagi ratusan terpidana mati. Namun, Amnesty International Indonesia mengkritik keras sikap pemerintah yang tetap mempertahankan hukuman mati.
Sikap Presiden Prabowo Subianto yang menolak hukuman mati karena tak ada ruang koreksi jika terjadi kesalahan, seolah tak digubris. Hukuman mati dinilai tak efektif mencegah kejahatan dan bertentangan dengan prinsip HAM.