Bangkaterkini.id, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengeluarkan pernyataan mengejutkan, menyoroti praktik kekerasan dan intimidasi yang dilakukan junta militer Myanmar. Tujuannya, memaksa warga untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum (pemilu) yang akan segera digelar. Ironisnya, kelompok oposisi bersenjata juga dituding menggunakan taktik serupa, namun dengan tujuan sebaliknya: menjauhkan masyarakat dari tempat pemungutan suara.
Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, dengan tegas menyerukan agar "otoritas militer di Myanmar harus berhenti menggunakan kekerasan brutal untuk memaksa orang memilih dan berhenti menangkap orang karena menyatakan pandangan yang berbeda." Pernyataan ini, yang dilansir kantor berita AFP pada Selasa (23/12), menggarisbawahi situasi hak asasi manusia yang memprihatinkan di negara tersebut menjelang pesta demokrasi yang kontroversial.

Pemilu yang akan dimulai pada Minggu mendatang ini digembar-gemborkan oleh junta sebagai langkah menuju kembalinya demokrasi, lima tahun setelah mereka menggulingkan pemerintahan sipil yang terpilih secara sah. Kudeta tersebut memicu perang saudara yang berkepanjangan. Namun, realitasnya jauh dari klaim tersebut, mengingat mantan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi masih mendekam di penjara, dan partainya yang sangat populer telah dibubarkan oleh militer.
Turk lebih lanjut mengungkapkan pada hari Selasa itu bahwa warga sipil berada di bawah ancaman serius, baik dari otoritas militer maupun kelompok oposisi bersenjata, terkait partisipasi mereka dalam pemilu. Pernyataannya menyoroti puluhan individu yang telah ditahan berdasarkan "undang-undang perlindungan pemilu" hanya karena menggunakan kebebasan berekspresi mereka. Banyak di antara mereka yang dijatuhi "hukuman yang sangat berat," seperti kasus tiga pemuda di Kota Hlainghaya, wilayah Yangon, yang dijatuhi hukuman antara 42 hingga 49 tahun penjara karena memasang poster anti-pemilu.
Kantor hak asasi manusia PBB juga menerima laporan mengerikan dari para pengungsi di beberapa wilayah, termasuk Mandalay. Mereka diperingatkan bahwa rumah mereka akan disita atau diserang jika tidak kembali untuk memberikan suara. "Memaksa para pengungsi untuk melakukan kepulangan yang tidak aman dan tidak sukarela merupakan pelanggaran hak asasi manusia," tegas Turk. Ia menambahkan bahwa ancaman serius juga datang dari kelompok bersenjata yang menentang militer, termasuk insiden penculikan sembilan guru perempuan dari Kyaikto bulan lalu saat mereka dalam perjalanan mengikuti pelatihan pemilu. Para guru tersebut kemudian dibebaskan dengan peringatan dari para pelaku.
"Pemilu ini jelas berlangsung dalam lingkungan kekerasan dan penindasan yang ekstrem," pungkas Turk, menggambarkan gambaran suram mengenai proses demokrasi di Myanmar di bawah bayang-bayang junta militer.
